Dikacangin Sama Penerbit Indie

Penulis. Apa yang ada di benak saya sudah bermacam macam mengenai penulis. Entah dari segi tulisan, entah dari segi popularitas, entah dari segi kreativitas. Banyak hal yang rupanya mempengaruhi saya untuk menerjemahkan kata kata tersebut. Tapi satu hal yang pasti, penulis bukan embel embel. Ia bertumbuh dan berproses untuk menjadi ada.

Baru kemarin malam saya menghubungi teman saya. Salma Nusaiba. Dia teman saya sewaktu kami sama sama kuliah di D IV Kebidanan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Selama 4 tahun di kampus, beberapa pengalaman kami tentunya beraneka ragam. Ada sedih, ada tawa, ada bahagia.

Dalam telepon singkat kami dan obrolan ringan itu, ia pertama tama menceritakan mengenai kesibukannya dalam kegiatan PIN, Pekan Imunisasi Nasional yang merupakan kegiatan rutin puskesmas di tempatnya bekerja, di salah satu wilayah di Jakarta. Lalu ia menceritakan juga mengenai kegiatan organisasinya, yaitu ranting IBI tempatnya bergabung yang sedang dalam proyek menerjemahkan beberapa tulisan dari ICM, yaitu International Congress of Midwifery.

Dari cerita mengenai kesibukannya di Kantor maupun di organisasi, saya mulai menuju pada titik persoalan tujuan saya yang utama, yaitu meminta maaf atas keterlambatan pengiriman buku berjudul Lima Januari punya saya. Dengan sedih dan berat hati, saya mengutarakan terjadinya suatu musibah, yaitu tidak terkirimnya buku cetakan saya tersebut ke kantornya.

Saya menjelaskan dengan teliti mengenai penyebab tidak sampainya buku tersebut ke kantornya. Alasan yang saya dapatkan dari penerbit buku saya adalah dari tukang kurir yang tidak amanah menjalankan tanggungjawabnya. Bisa dibilang, keterangan dari penerbit tersebut menyatakan kesalahan yang terletak di kurir penerbit. Lebih lanjut, penerbit tersebut tidak mau mengganti buku yang telah saya pesan tersebut untuk segera dikirimkan kepada Salma, sehingga berimbas pada teman saya yang tidak bisa menikmati karya saya.

Kami lalu berlanjut untuk mengetengahkan masalah ini, dan saya berusaha untuk mengganti kekecewaannya dengan mengiriminya buku 1990 kumpulan puisi terbaru saya. Ia pun dengan senang hati menerima lalu saya memintanya untuk segera mengirimkan alamat domisilinya di Jakarta.

Betapa kasus ini begitu pelik. Penerbit indie, yang notabene berbasis kepercayaan, dalam hal ini mencederai satu hal penting dalam dunia kepenulisan. Penerbit indie yang secara tidak langsung adalah harapan bagi penulis untuk menerbitkan karya, menjadi momok luka yang dalam. Dan dalam hal ini, saya merasa dikecewakan oleh penerbit yang berdomisili di Yogyakarta tersebut. Kepercayaan yang dibangun, hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang berusaha dibina, akan rusak seketika apalagi adanya permasalahan kiriman yang tidak sampai dengan alasan kurir yang bermasalah.

Ditipu penerbit tentu adalah hal yang sangat menyakitkan. Dan selain ditipu, dikecewakan dalam hal service pengiriman dari penerbit indie tentunya sama sakitnya dengan hal itu. Penerbit indie yang merupakan harapan pemuda dan harapan pemudi, menjadi merosot reputasinya apabila diwarnai oleh citra yang kurang baik.

Maka, saya sebagai pengguna penerbitan indie, menyerukan kepada seluruh penebrit indie dimanapun berada. Agar jangan sekali kali mengecewakan penulis pemula, sebab pepatah bilang bawah "A professional is an amateur who did not quit. ".

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kepada Lelaki Bernama A: Kembalilah!

Cerdas Tanpa Batas