Kepada Lelaki Bernama A: Kembalilah!
Kau tidak setenar penyair Widji Thukul atau
aktivis hak asasi manusia Munir. Namun ada kesamaan di antara kau dan mereka:
mereka sama-sama mencoba melawan rezim yang sewenang-wenang. Dan sampai hari
ini, kau hilang tak ada kabar. Memang
hidupmu sudah mapan dengan segala fasilitas yang kau punya sebagai pengusaha,
akan tetapi hatimu tergugah oleh sesuatu yang ingin kau selamatkan di bidang
lingkungan hidup. Kau urusi perminyakan, dan tambang-tambangnya. Kau suarakan
agar para produsen menjadi orang yang pertama kali mencintai lingkungan. Tapi
sekarang, kau dinyatakan hilang beberapa bulan yang lalu, dan beberapa orang
yang mengenalmu, hanya sedikit yang turut berduka untuk kepergianmu.
![]() |
| Ilustrasi
Kepada Lelaki Bernama A: Kembalilah! oleh Niken Bayu Argaheni
|
Begitu sempurnakah kau menulis buku? Atau
mungkinkah buku yang kau tulis itu begitu berbahaya bagi banyak orang? Hingga
dua buah bukumu yang lampau di sembunyikan karena memaparkan mengenai
konspirasi yang berisi banyak data dan informasi yang belum tersampaikan ke
publik. Pada sekapur sirih darimu kau tulis dengan gamblang bahwa analisis bukumu
menitikberatkan pada proses pembuatan kebijakan dan siapa yang diuntungkan dari
kebijakan menanggulangi semburan lumpur. Ah, lumpur lagi. Sampai kapan negara
ini musti mengurusi masalah yang tak pernah usai…
Suatu pagi, tentunya itu adalah hari yang
bersejarah bagimu, hari yang begitu hangat. Hari itu adalah hari dimana kau
akan menghadiri sebuah acara, dimana kau akan menjadi pembicara dari sebuah
kasus. Lalu setelah itu kau dijadwalkan hadir sebagai pembicara dalam acara
bedah buku tersebut di Aula salah satu perguruan tinggi terkemuka di negara ini,
belum lama sebab baru saja Jumat yang lalu. Namun, saat para pembicara diskusi
naik ke panggung, kau tidak tampak.
"Kami tidak bisa menghubungi beliau sejak
tiga hari yang lalu." kata panitia saat itu menjelaskan kepada publik
lewat konferensi persnya. Pertemuan demi pertemuan selanjutnya seperti di telan
bumi, mengindikasikan kau hilang, atau entahlah, mungkin juga kau sedang
bersembunyi.
Kemanakah kau akan berlari dan bersembunyi?
Betapa kebenaran itu butuh tumbal untuk diletakkan dalam meja altar. Ya, tumbal
itu harus dibayar mahal seringkali, dengan sesuatu yang tak kau sukai. Hal itu
sebagaimana segala hal yang kau perjuangkan hari kemarin dengan tulisan melalui
pena sederhanamu yang menyuarakan aspirasi dan pemikiranmu.
“Pada hari Selasa itu”, kata K –sahabatmu-, “Ia
mengirim pesan singkat meminta kepastian A mengenai acara diskusi, tapi tidak
ada balasan. Keesokan harinya, dia kembali mengirim pesan singkat, tapi
hasilnya sama. Begitu ditelepon, ternyata telepon selulernya tidak aktif.
Sewaktu ia bertanya kepada keluarga dan temannya, jawabannya juga tidak tahu.”
Wajar kalau pikiran orang-orang langsung
mengaitkan misteri keberadaanmu dengan sejarah kelam negeri ini yang mencatat
sejumlah orang yang hilang tanpa ketahuan sebabnya. Dan nama yang langsung
melekat adalah Widji Thukul, penyair dan aktivis yang lenyap pada seputar tahun
1998. Thukul melengkapi belasan nama yang hilang pada tahun-tahun kelam itu,
termasuk Herman Hendrawan, Bimo Petrus, Deddy Omar Hamdun, Noval Alkatiri, dan
lain-lain. Sebagian muncul lagi dan sebagian lagi tak pernah kembali.
Ada yang berprasangka bahwa menghilangnya
dirimu hanya sekadar sensasi sebagai media promosi bagi bukumu. K saat itu
mati-matian menampik dugaan orang-orang, "Kami tidak mungkin mengkhianati
publik. Selama ini buku ini kami roadshow. Sengaja kami uji di kampus agar bisa
dibedah secara ilmiah," ujarnya dengan mantap.
Setelah bukumu terbit, kau kerap menerima
teror dan ancaman dari berbagai kalangan yang tidak suka atas terbitnya buku
ini. Ah, aku tidak berharap namamu akan menjadi tenar karena bernasib seperti
Widji Thukul dan Munir. Kebenaran sudah saatnya tegak, seperti pohon yang
menjulang dengan gagahnya menerawang matahari. Sebab pohon tahu, ia ada dengan
alasan yang pasti: membawa kebenaran di muka bumi.

Comments
Post a Comment