APA YANG KAU TAHU TENTANG JERAPAH (cerpen Niken Kinanti di koran Radar Surabaya, 2 November 2014)




            Mulanya aku tak pernah curiga sedikitpun mengenai perilaku suamiku yang selalu menanyakan tentang hewan yang bernama jerapah. Ia menanyakan padaku sejak pertama kali ia bertemu denganku. Aku lupa tanggal berapa kami pertama kali bertemu, namun aku masih ingat hari itu adalah hari akhir tahun, dimana hujan tak berhenti menetes saban hari. Aku masih ingat saat itu, ia membaya payung bercorak kotak kecoklatan lalu membawa tas selempang berwarna putih dari kain terigu. Pertemuan kami yang pertama itu cukup mengejutkan, karena kami sering berkomunikasi lewat media sosial namun kami tak pernah bertemu dan bertatap muka sebelumnya.     Hari dimana aku bertemu dengannya adalah hari yang biasa saja. Mendung dari pagi belum juga mau minggir sebentar saja. Aku cemas melihat jam dinding yang menunjukkan angka 9 pagi dan tak mau beranjak menuju angka 10 pagi. Aku sudah berdandan rapi di kamar, membedaki pipiku dan memoles bibirku dengan warna merah muda. Parfum aroma melati kusemprotkan berkali-kali pada pergelangan tangan. Aku cemas lalu bernafas panjang mencoba mengusir segala kecemasanku. Kuputar-putar jam tangan warna kuning keemasan yang kupakai, namun itu tak merubah apapun. Aku masih saja cemas menanti kehadirannya di hari itu, hari yang tak kutahu namanya.
            Seseorang datang dengan memakai payung yang warnanya sampai sekarang tak akan kulupa, tas warna putih dari kain terigu serta baju dan celana berwarna hitam. Ia melihatku yang menunggu di teras rumah kontakan. Ia melihatku sebentar, lalu tersenyum.
            “Silvia?” tanyanya dengan pelan.
            Aku tersenyum simpul lalu membalas. “Apa aku terlihat berbeda dari foto yang aku kirimkan? Kelihatannya kau heran melihatku.”
            “Ehm, aku hanya basa-basi. Boleh duduk?”
            “Oh, iya. Maaf aku lupa mempersilakanmu duduk.”
            Kami mengobrol sebentar, lalu ia mengajakku berjalan keluar menuju taman. Hari yang aneh memang, karena tak ada orang yang bepergian ke taman saat cuaca hujan seperti ini. Aku menuruti saja keamuannya kemanapun ia ingin pergi, sebab aku tahu melalui pembicaraan kami bahwa ia lebih nyaman berada di luar ruangan dan ia lebih suka pada tempat yang sepi.
            “Kau sudah makan?” tanyanya padaku.
            “Belum.” Jawabku.
            “Boleh aku mentraktirmu segelas kopi? Uangku hanya cukup untuk membelikanmu segelas kopi.”
            Aku mengangguk menyetujui. Ia menunjuk lapak kecil, kemudian kami bersama-sama masuk ke dalamnya. Ia meletakkan tas berwarna putih dari kantong terigunya, lalu memesan dua gelas kopi. Ia memesan satu gelas kopi dengan gula setengah sendok teh dan satu lagi untukku satu gelas kopi dengan gula satu setengah sendok teh.
Lama ia memandangi jalanan tanpa berkata apapun, lalu ia mengeluarkan tembakau yang ia bungkus dengan plastik transparan. Ia mengeluarkan semacam kertas dari bahan daun jagung, lalu ia melinting tembakau tersebut ke dalam kertas dari daun jagung.
“Dari kota Bo jam berapa?” tanyaku kepadanya.
“Aku berangkat malam, setelah Isya.”
“Capek ya di perjalanan menuju kota Ba?”
Ia tersenyum padaku, sambil menghisap lintingan tadi.
“Apa kota ini selalu hujan tiap hari?” ia bertanya.
Aku diam barang sebentar, lalu menjawab. “Mungkin karena musim penghujan, maka hujanturun setiap hari. Dan mungkin juga karena ada kamu,” jawabku singkat.
“Mau hujannya aku alihkan ke tempat lain?”
“Jangan bercanda. Kita bukan Tuhan yang bisa dengan mudah mengalihkan air hujan menuju tempat lain.”
“Lalu apa gunanya pawang hujan?”
“Aku tak percaya dengan hal itu.”
“Kau tak percaya tapi kau meyakini bahwa mereka para pawang hujan juga bekerja dengan caranya sendiri.”
Aku menghela nafas, “Maksudku, aku tak percaya dengan cara mereka memindahkan hujan ataupun menolak hujan. Bukankah hujan itu sumber dari rejeki? Mengapa mesti ditolak?”
Ia tertawa lepas, memperlihatkan susunan giginya yang kecil dan dihiasi beberapa titik noda hitam.”Apa gunanya doa?”
“Kenapa kamu tanya seperti itu?”
“Ya aku ingin tanya seperti itu karena aku ingin mengukur seberapa jauh pemahamanmu terhadap doa.”
Aku diam untuk sesaat, lalu meminum kopi yang berada di depanku..
“Bisa kita membahas yang lainnya saja?”
“Bisa, aku ingin membahas mengenai jerapah.”
Aku tertawa. “Maksudmu jerapah yang ada di kebun binatang?”
Dia melihatku dengan tatapan kecewa. “Mengapa kamu tertawa?”
“Karena kamu membahas hewan yang disukai anak kecil. Dan ingat, kita sudah besar. Jadi tak perlu membahas jerapah lagi. Kalau kau bertanya mengenai jerapah ketika aku masih bersekolah di taman kanak-kanak, itu wajar. Tapi jika kau membahas hewan itu sekarang, itu tidak wajar. Ada topik yang lain? Ayolah, bicara mengenai Freud, atau Nietzche atau yang lain. Aku mau menemuimu di kota Ba karena aku tahu bahwa kau mahasiswa cerdas. Tapi kenapa kau membahas jerapah disini? Kenapa kau tak membahas Rumi, lalu Widji Thukul, atau yang lain yang biasa kau ceritakan di telepon?”
Ia diam lama memandangiku yang berapi-api. Aku menyeruput kopi hingga ampas-ampasnya, sebagai pelampiasan kekesalanku terhadapnya.
“Aku ingin membahas topik yang lain, selain jerapah. Namun aku takut topik ini akan membuatmu membenciku, kabur dariku atau yang lainnya.”
“Topik apa?’
“Aku ingin mengucapkan qobiltu nikaha padamu.”
Aku terdiam lama,ingin segera beranjak dari tempat itu. “Aku butuh waktu untuk memikirkannya.”
Ia mengangguk, lalu membuat kesepakatan bahwa ia akan ke kota Ba lagi untuk mendengar jawaban dariku secara langsung.
Dia berpamitan, dan berpesan. “Aku hanyamembawa oleh-oleh berupa tape dari kota Bo. Semoga kau suka. Seperti apa yang kau pesan, kau minta ragi tape tersebut berasal dari Solo.”
Usai ia berpamitan, aku pulang ke rumah kontrakan. Pertemuan yang aneh dengannya, tapi entah kenapa membuatku yakin untuk menikah dengannya dengan gaun merah muda sederhana tanpa riasan apapun. Kami berdua memakai jarik yang bermotif sama, batik tiga negeri buatan tangan ibunya. Kain batik itu, yang dibatik oleh ibunya sendiri mempunyai mitos yang luar biasa, konon dapat menyembuhkan sakit anak kami dengan cara membasahi kain tersebut lalu air basahan dari batik tersebut digunakan untuk mandi.Hari itu perayaan pernikahan kami sederhana, dengan ritual tumplek ponjen yaitu menarik seekor ayam yang sudah matang. Suara klenengan mengalun lembut mengiringi prosesi pernikahan adat kami tanpa gangguan apapun.
Sudah lima tahun berlalu sejak pertemuan kami di kota Ba. Namun pertanyaannya mengenai jerapah masih saja terngiang-ngiang di benakku. Aku tak bisa menjawab sampai sekarang apa maksud dari pertanyaannya. Sekarangpun ia masih menanyakan hal yang sama padaku ketika aku mengunjunginya di rumah sakit jiwa. Aku selalu membawakannya tape dari kota Bo dengan ragi dari Solo. Ia selalu menerima tape pemberianku dengan tersenyum dan menanyakanku mengenai jerapah. Aku harus menjawab seperti apa?
**

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dikacangin Sama Penerbit Indie

Kepada Lelaki Bernama A: Kembalilah!

Cerdas Tanpa Batas