Tulisan Di Inilah Koran Minggu, 12 April 2015

Ide cerita ini sudah muncul jauh sekitar 2 tahun yang lalu, 29 maret 2013 saat seseorang mengajakku menyusuri pertambakan daerah Margomulyo. Ia bercerita panjang lebar mengenai bakau dan lain-lainnya. Kami ambil beberapa foto keadaan tambak tanpa bakau di pesisirnya. sungguh keadaan yang miris, tapi itulah fakta. Selamat membaca!



PEKUBURAN LOSARI

            Sudah tujuh belastahun berlalu sejak kau dikabarkan mati lalu dikuburkan di pekuburan Losari. Pekuburan itu menjadi angker sejak kematianmu tujuh belas tahun lalu. Orang-orang membicarakan mengenai kematianmu sampai sekarang. Cerita itu diwariskan dari satu orang kepada orang lainnya. Cerita yang berkembang diantara mereka kebanyakan adalah cerita mengenai mayatmu yang tidak dikuburkan, mengenai penampakanmu setiap malam Jumat Legi di pekuburan sana, dan beberapa cerita lainnya yang dibumbui oleh gosip-gosip murahan yang tak jelas asal-usulnya.
            Aku hanya mengingat sedikit mengenai dirimu sebelum berita itu ramai tersebar ke seluruh penjuru kampung, bahkan ke beberapa kampung sebelah. Saat itu aku masih ingat kita bertemu di bulan kemarau, ketika pertemuan karang taruna remaja diadakan. Kau duduk paling depan, sedang asyik berbicara dengan pak Lurah yang juga diundang di acara karang taruna itu.
            Aku paling malas dengan kegiatan karang taruna atau kegiatan berkumpul dengan orang-orang semacamnya, maka aku memilih tempat yang paling redup di balai desa itu, menyendiri di sudut ruangan menghindari orang-orang. Kalau saja ayahku bukan ketua RT, maka aku tentu lebih memilih pergi dari tempat berkumpul itu.
            “Arya!” seseorang memanggilku. Aku menoleh, dan tepat saat itu aku tahu bahwa kau yang memanggilku.
            “Ayo kesini,” katamu keras hingga orang-orang di sekeliling melihat ke arahku.
            “Sebentar ya Pak, saya menemui Arya dulu,”ujarmu kala itu meminta ijin kepada pak Lurah.
            Kau berjalan cepat ke arahku, lalu menarik tanganku tanpa ragu. Aku berdiam saja disitu, dan mencoba menepis tanganmu yang menggandengku. “Apa-apaan ini.” Kataku ketus ke arahmu.
            “Ayolah, kesini... kau harus berbicara dengan pak Lurah bersamaku. Bukankah pertemuan ini juga karena idemu?” kau memelototiku dengan tajam ketika tanganmu kutolak mentah-mentah.
            “Kau bisa bicara sendiri kan,” kataku tanpa basa basi.
            “Oh, jadi seorang inisiator seperti itu ya? Punya ide, lalu diungkapkan, lalu tanpa merasa bersalah mundur pelan-pelan. Inisiator macam apa kamu ini. Tidak malu kau sama pak Lurah yang sudah hadir disini?” Ia semakin galak memarahiku.
            “Hei, aku tak bermaksud seperti itu.” Kataku menyahut.
            “Lalu apa? Lalu orang sebanyak ini kau kumpulkan, tanpa kau hadir di dalamnya seperti itu?” tambahmu.
            Aku diam lalu menghampirimu yang menampakkan muka kesal. “Aku tak biasa tampil sepertimu di hadapan orang-orang.” Aku jujur mengakui kepadamu malam itu kalau aku sungguh tak memiliki nyali untuk ngomong di depan orang banyak.
            “Oke, malam ini kau bisa bebas. Tapi besok, kita harus bicara. Jam tujuh pagi di hutan bakau. Aku tunggu.” Kau berlalu meninggalkanku lalu menuju kerumunan yang lain.
            Malam itu aku pulang cepat, dan memikirkan banyak hal tentangmu, juga mengenai pertemuan besok pagi.
            **
            Pukul enam pagi aku telah mandi dan berganti pakaian untuk menemuimu di hutan bakau. Aku tak suka seperti ini diatur jadwal kegiatanku oleh orang lain, termasuk kau. Aku sebenarnya lebih suka berdiam diri di rumah atau merawat sapi peternakan milik keluargaku. Berada di peternakan membuatku bisa menjadi diriku sendiri, karena aku bebas mengatur peternakansesuai keinginanku. Tapi dengan jengkel dan terpaksa aku harus segeraberangkat ke hutan bakau, tempat yang kau janjikan disana kita bertemu. Hutan bakau tak jauh dari tempat tinggalku. Jaraknya kurang lebih satu kilo. Aku cukup berjalan kaki menuju kesana, apalagi di pagi hari udara masih hangat.
            “Kau sendirian?” tanyamu dengan senyum terkembang.
            Aku mengangguk, lalu mengamati penampilanmu hari itu yang terlihat berbeda dengan rok warna merah dan baju lengan panjang. Tak biasanya kau memakai rok yang memperlihatkan sisi kewanitaan.
            “Kau bisa pakai rok?” tanyaku menyindir.
            “Tentu. Kau tak pernah melihatku memakai rok? Makanya kau harus banyak keluar rumah, agar kau tidak kuper di dalam rumah terus.”
            “Aku jarang di rumah. Aku lebih banyak berada di peternakan.” Sahutku menimpali.
            “Ya, itu maksudku. Kau lebih baik bergaul dengan banyak orang, jangan melulu berada di peternakan sapimu.”
            “Apa salahnya?” tanyaku “Aku hanya mengaplikasikan ilmu yang aku dapat saja dari kampusku.”
            “Bagaimana rasanya jadi sarjana peternakan?” tanyamu ingin tahu.
            “Kau lihat sendiri. Biasa saja tuh. Kalau kau, bagaimana rasanya menjadi sarjana Matematika?”
            “Kau lihat sendiri, aku tak pandai berhitung. Aku malah lebih sering membolos saat pelajaran di kampus.”
            “Lalu, kenapa kau memilih untuk terjun dalam jurusan matematika?” tanyaku.
            “Yah, aku menyenangkan hati orangtua.” Kau nyengir kepadaku.
            Aku tertawa melihat ekspresimu yang lucu. Kaki-kakimu yang telanjang itu kau ceburkan dalam lumpur.
            “Ayo kita berkeliling,” ucapmu mengajakku.
            “Kemana?” tanyaku.
            “Kemana saja, yang terpenting kita berkeliling.” Ucapmu sambil menggandeng tanganku. Ini yang kedua kalinya setelah peristiwa tadi malam yang penuh gejolak.
            Kau berjalan di depan, menerobos lumpur dan bakau muda yang baru ditanam seminggu yang lalu. Kakimu menapak dengan hati-hati. Aku mengikutimu dari belakang.
            “Kalau tak ada bakau, maka akan lebih banyak kerusakan yang terjadi,” katamu pelan kepadaku. “Hutan bakau menyediakan makanan untuk makhluk hidup di sekitarnya. Tapi sekarang, ratusan ribu hektar hutan bakau di Indonesia telah menjadi daerah tambak. Dan mereka lupa akan pentingnya menanam tanaman bakau untuk masa depan. Aku, kamu, dan para pemuda tadi malam itu bergerak dan berkumpul karena kita sadar akan pentingnya bakau. Nah, yang parah adalah para pemilik tambak yang tidak rela menyisihkan seperjengkal tanahnya untuk dijadikan hutan. Itu yang harus kita perjuangkan. Dan aku salut sama saranmu untuk menghidupkan kembali hutan bakau di pesisir utara pulau Jawa ini. Tapi aku tak suka caramu yang diam dan pemalu, tak amu tampil di depan untuk menyuarakan keinginan dan suaramu.”
            “Meskipun pemalu, tapi aku tetap mendukung hutan bakau itu kok,“ sahutku menjawab.
            “Tapi kau curang. Kau harusnya tampil di depan dan menjadi orator ulung untuk menyuarakan visi kita.”
            “Aku bukan sepertimu,” kataku menyanggah. “Aku tak bisa berbicara lancar di depan umum sepertimu. Ketika melihat mata mereka, aku menjadi ciut nyali dan memilih menghindar saja.”
            “Ayo, aku ajari. Disana, ” Kau menunjuk lokasi tanah yang lebih tinggi dari yang lainnya. “Kau harus teriak yang kencang, biar kau bisa bicara di depan umum. Ayo coba.”
            “Aku tak mau.”
            “Harus. Seperti ini.” Kau menuju tanah itu, berdiri dengan tegak lalu mengambil nafas yang panjang hingga dadamu membusung, lalu berteriak kencang, “Aa.....”
            Suaramu terdengar kemana-mana hingga burung camar yang berkumpul lalu terbang menjauh dari tempat itu.Aku memberanikan diri mengikuti caramu berdiri tegak di tanah yang lebih tinggi, kemudian menarik nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkan teriakan. “Aaaa...”
            “Ah, kau payah. Itu kurang, kau harus lebih berteriak. Seperti ini. Aaaa....” katamu kepadaku.
            Aku menirunya lagi sampai tandas kemarahanku, “Aaaa...”
            “Nah, gitu. Kau bisa mempraktekkannya. Di rumah dan di peternakan sapimu. Hahaha. ” tawa renyahmu dihempas angin siang dari laut. “Aku tetap akan menjaga kawasan ini sampai bakau kecil itu bertumbuh besar dan memberi perlindungan,” katamu perlahan kepadaku. “Ah, sudah siang. Ayo kita pulang.”
Aku mengikuti arahmu pulang menuju desa setelah membasuh kaki di gubuk kecil tak jauh dari lokasi hutan bakau. Kau berjalan pulang dengan riang sekali, seperti tak ada hari lagi selanjutnya.
Hari itu adalah hari terakhir aku melihatmu di hutan bakau, bercanda riang sampai tandas. Orang-orang masih membicarakanmu sampai kini, ketika mayatmu ditemukan di hutan bakau secara mengenaskan tertimbun oleh lumpur. Tak ada yang tahu siapa pembunuhmu sampai sekarang. Namun orang-orang menaruh curiga pada para saudagar tambak yang berkepentingan memperluas tambaknya. Orang-orangcuriga kepada saudagar tambak, sebab tak ada yang lebih berkepentingan selain para saudagar tambak itu yang berhubungan dengan hutan bakau yang kami garap. Pekuburan sepi ini dinamakan Losari, dimana orang-orang selalu diliputi ketakutan ketika lewat disana malam hari, sebab disana seorang gadis manis pejuang kawasan hutan bakau mati mengenaskan di hutan yang ia perjuangkan kelestariannya.
**

Comments

  1. Halo mba Niken, salam kenal yaa.. Ternyata bener ini blog nya Mba Niken. Cerpennya keren euy. Puisinya juga bagus-bagus ^^ & udah banyak yang nembus media. Semangat terus lah pokokna mah :D

    ReplyDelete
  2. terimakasih telah mampir... salam,,, semoga suka sama cerpen saya.. tulisan mba Yayang keren euy yang di majalah Femina... :-)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Dikacangin Sama Penerbit Indie

Kepada Lelaki Bernama A: Kembalilah!

Cerdas Tanpa Batas